Lebih dari Sekedar Sebuah Ucapan

Sebenarnya saya capek membicarakan hal ini, soalnya perdebatan ini selalu berulang-ulang, tanpa ada hentinya. Perdebatan ini jadi tidak sehat, karena orang selalu mengulang-ulang hal yang sama: boleh atau tidak boleh. Itu saja yang diulang, dalil yang sama diulang, dan sampai entah kapan, saya yakin sekali perdebatannya akan kembali lagi ke hal-hal itu saja.

Saya tidak mengharapkan bahwa dengan tulisan ini saya akan menyelesaikan polemik dan perdebatan soal hal ini. Ini hanya curhat ringan saya saja.

Ya, ini soal ucapan ‘selamat merayakan hari raya sebuah agama selain Islam’ yang diucapkan oleh seorang Muslim. Apapun itu, mau Natal, Hannukah, Pascha, Waisak, Kwanzaa, Rosh Hasanah, Nyepi, Deevapali, dan teruskan saja sebanyak dan sepengetahuan anda.

Saya dapat dua respon karena saya mengucapkan ‘selamat merayakan hari raya sebuah agama selain Islam’ di instagram. Saya pikir dua respon ini perlu saya klarifikasi secara jelas disini.

Alasan saya mengucapkan ‘Selamat Natal’ adalah karena saya punya beberapa teman-teman non-Muslim, tak bisa dibilang teman yang amat akrab atau sahabat, tapi tidak bisa dibilang juga sekadar kenalanPun saya seorang Muslim Indonesia, yang lahir di tengah masyarakat yang amat beragam. Meskipun masyarakatnya mayoritas Islam, tapi saya pernah tinggal selama tiga bulan di rumah orang Katolik selama KKN, saya pernah ngekos hampir tiga tahun di rumah orang Katolik juga, dan teman-teman sejurusan saya tak sedikit yang beragama selain Islam. Saya juga yakin bahwa iman saya tidak langsung batal ketika saya mengucapkan ‘Selamat Natal’ karena saya yakin bahwa iman itu pelita, bukan benteng. Pelita tak akan mudah padam oleh apapun, selama kita terus meneranginya dengan minyak yang berupa wahyuNya dan ajaran RasulNya.

Saya juga berittiba’ pada para ulama-ulama dari al-Azhar, salah satu institusi terhormat dalam keilmuan Islam, khususnya bagi mereka yang termasuk dalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Tak semua ulama mungkin, tapi beberapa ulama’ Azhari berpendapat bahwa tak ada masalah dalam mengucapkan selamat Natal sebagai sebuah ekspresi penghormatan dan persaudaraan bagi sesama Ahlul Kitab. Ulama Azhari mengatakan bahwa konteks masyarakat Mesir yang majemuk (dimana orang Islam dan Koptik hidup bertetangga dan berdampingan adalah sebuah fithrah) membuat ucapan selamat Natal yang dilakukan oleh seorang Muslim menjadi sesuatu yang wajar dan diperbolehkan, bukan hanya dalam konteks-konteks darurat seperti mereka yang ada di negara non-Muslim. Saya rasa kondisi yang ada di Mesir, juga terjadi di Indonesia. Pendapat yang sama juga terefleksikan pada pendapat-pendapat ulama Aswaja yang lain seperti Habib Umar, Syaikh Wahbah Zuhaili, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dan banyak lagi ulama-ulama lainnya, termasuk juga para alim ulama dalam jam’iyyah NU dan Muhammadiyah (meskipun Syaikh al-Qaradhawi mengecam umat Islam yang mengikuti syahwat dalam merayakan Natal dan Tahun Baru ala Kapitalis).

Mengenai ulama-ulama yang menolak, mereka juga banyak. Ada yang mempermasalahkan bahwa mengucapkan selamat itu selayaknya menerima bahwa Yesus memang lahir pada tanggal itu dan seolah-olah mengucapkan selamat itu berarti mengimani Yesus. Ada pula yang mengatakan bahwa hal ini penuh dengan syubhat, sehingga perlu dihindari. Saya menghormati pendapat-pendapat tersebut, karena basisnya adalah menjaga aqidah dari kerancuan-kerancuan. Dikhawatirkan memang dengan mengucapkan ‘selamat’, perlahan-lahan kita akan tertarik dan menerima agama lain selain Islam.

Saya bisa paham hal itu, namun begini. Tidak berarti ketika saya mengucapkan selamat Natal, maka saya menerima esensi Yesus sebagai Tuhan atau Yesus memang lahir pada tanggal 25 Desember di sebuah gubuk domba yang dikelilingi oleh pohon pinus. Saya masih percaya bahwa Bunda Maryam melahirkan Isa a.s. di sebuah gurun tandus di bawah naungan pohon kurma, sesuai dengan riwayat Surah Maryam. Tidak, tidak berati ketika saya mengucapkan selamat Nyepi, maka saya akan mengikuti amati geni. Tidak, tidak berarti ketika saya mengucapkan selamat Waisak, maka saya juga akan ikut ke klenteng atau wihara untuk bermeditasi di depan patung Buddha. Ucapan selamat ini, sekali lagi, adalah sebuah ekspresi sosial, mencoba untuk berempati dan menghormati mereka yang beragama selain Islam di negara yang majemuk seperti Indonesia.

Saya pikir, marilah kita sama-sama menghormati pandangan dan pendapat pribadi dalam persoalan ini. Silahkan mengucapkan atau tidak mengucapkan, itu yang tahu hanya diri kita masing-masing, dan masing-masing dari kita akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di hari akhir nanti. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah berpendapat dengan baik dan menggunakan dasar ilmu yang baik dalam berpendapat, tak ikut emosi, tak ikut prasangka dan tak ikut-ikutan belaka.

Selain itu, ada hal yang lebih penting sebenarnya dari sekadar ucapan ini.

Soal bagaimana kita bisa berlaku adil, antar sesama manusia tanpa melihat identitasnya. Sungguh ucapan-ucapan “selamat ini, selamat itu” tak akan ada makna apa-apa, jika memang kita masih melihat orang NTT menderita kelaparan, orang Papua dibatasi haknya, orang kecil di Jakarta digusur rumahnya, orang Rembang diusir dari sawahnya. Akhirnya yang terjadi adalah sebuah solidaritas tanpa makna, kosong. Hanya simbol saja, tapi kita tak pernah paham makna Allah menciptakan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk untuk apa. Untuk bermusuhan kah? Atau untuk mencapai sesuatu yang lebih dari itu? Dengan lensa kebanyakan orang yang melihat masalah-masalah di Indonesia hanya sebagai masalah mayoritas vis-a-vis minoritas, mata kita jadi picik dan selalu merasa takut dengan perbedaan yang ada.

Polemik soal ‘selamat’ ini mestinya bisa ditransformasi lagi menjadi sebuah polemik yang berbeda. Bukan sekedar masalah ego-sentrisme atau ketakutan mayoritas-minoritas, tapi bagaimana semua orang, tanpa melihat lebih jauh lagi latar identitas dan agamanya, bisa bekerjasama menyelesaikan masalah-masalah yang lebih relevan dan mendesak dalam masyarakat kita. Bagaimana nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap agama, tentang pentingnya berbuat adil dan berbuat ma’ruf pada sesama, bisa ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan para ulil amri.

Saya mungkin hanya bermimpi dan ngomong normatif disini, tapi saya ingin suatu hari saya bisa tetap menjaga idealisme saya tentang hal ini serta melakukan praktik sosial terkait hal ini, tak berhenti di wacana. Itu saja.

Tinggalkan komentar