Cerita tentang Mereka yang Dikeluarkan

Dunia akademik Turki sedang menghadapi masa-masa terberatnya kali ini.

Banyak sekali dosen dan pengajar yang dikeluarkan begitu saja dalam 2-3 bulan terakhir ini. Begitu banyaknya dosen yang dipaksa keluar, sampai-sampai beberapa jurusan di beberapa universitas harus menghentikan kegiatan perkuliahan dan akademik. Ada juga beberapa kampus yang harus membuka lowongan untuk menutup kekosongan kursi, dan ada juga kampus yang mengakali kekosongan kursi pengajar dengan membebani pengajar yang sudah ada dengan jam mengajar yang lebih banyak.

Mengapa mereka ini dikeluarkan? Ada satu alasan yang sering mengemuka: dosen-dosen ini dianggap terlibat dalam sebuah ‘jaringan teror’ yang hendak membahayakan keamanan dan kestabilan negara. Agak absurd memang, akademisi terlibat dalam ‘jaringan teror’? Namun begitulah alasan yang terus terdengar dari para pemangku kebijakan, di negara yang masih menjalankan masa darurat hingga sekarang.

Di kampus tempat saya sekarang belajar, kasus pemecatan dan pengeluaran paksa ini sedang diperbincangkan dengan cukup intens. Sebab pada awal minggu ini dan minggu lalu, pemerintah mengeluarkan kembali daftar nama-nama dosen dan staf pengajar yang dipecat dengan sangkaan terlibat jaringan teror. Beberapa nama-nama dosen yang terkenal profesional dan cemerlang masuk ke dalam daftar hitam tersebut, padahal mereka tak terlibat sama sekali dengan jaringan teror.

Salah satunya adalah Dekan Fakultas Pendidikan di kampus saya. Beliau seorang pakar manajemen pendidikan yang pernah menempuh studi doktoral di Ohio University dan post-doktoral di Harvard University, bisa dibilang reputasinya hampir menyerupai Prof. Arif Rahman Hakim. Pada saat diwawancarai oleh media Turki, Hurriyet, beliau mengatakan bahwa sebelum dipecat beliau sempat diinterogasi oleh komisi yang dibentuk oleh Rektorat kampus. Komisi ini, yang terdiri dari orang-orang dekat Rektor, menanyakan Dekan tersebut 10 pertanyaan, lalu menuduh Dekan tersebut telah berkhianat pada negara dan kemudian memutuskan untuk mengeluarkan Dekan tersebut dari kampus, dan menghilangkan segala hak dan kewajiban atas jabatan beliau sebagai seorang akademisi. Beliau mengatakan bahwa tuduhan ini tak berdasar, karena secara material dan spiritual tak ada ikatan antara beliau dengan ‘jaringan teror’ apapun. Selain itu, beliau juga bekerja penuh untuk Fakultas dan mengelola kuliah dari jam 7 pagi hingga jam 10 malam, tanpa henti dan tanpa sela untuk organisasi apapun.

Entahlah, mendengar cerita beliau, saya jadi berpikir kalau dalam pemecatan besar-besaran ini ada unsur politik kantor (bureaucracy politics) dan penyingkiran sistematis yang punya motif politis yang kuat. Saya juga dengar bahwa nama-nama dosen di daftar hitam ini disusun oleh rektorat universitas masing-masing, lalu diajukan ke Direktorat Perguruan Tinggi, dan dievaluasi oleh Menteri Pendidikan, lalu disetujui oleh Kantor Perdana Menteri. Jadi yang punya peranan besar dalam pengajuan nama di daftar hitam sebenarnya adalah rektorat.

Hal yang serupa juga terjadi pada seseorang yang amat saya kenal dan saya hormati. Beliau adalah guru bahasa Turki saya, yang mengajarkan saya bahasa Turki dari cara mengucap alfabet  sampai tata bahasa yang paling kompleks dalam bahasa Turki. Kemarin malam, beliau curhat di grup kelas dan mengatakan bahwa beliau sangat kaget dengan keputusan kampus untuk mengeluarkan beliau begitu saja dari tempatnya bekerja. Tanpa ada proses penyidikan, tanpa ada proses interogasi, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya dari pihak Rektorat, tak seperti kasus Dekan diatas. Tiba-tiba saja, pada tanggal 7 malam, beliau melihat namanya masuk di dalam daftar hitam. Sama seperti pak Dekan Fakultas Pendidikan, beliau juga mengaku tak pernah terlibat apapun dengan ‘jaringan teror’ tersebut, dan saya juga paham dengan sikap politik beliau yang cukup berimbang dan kritis. Selama saya dididik beliau, saya melihat beliau sebagai orang yang pemikirannya terbuka dan tak mudah percaya dengan iming-iming politik partai dan kelompok apapun (walaupun memang beliau cenderung konservatif dalam beberapa hal). Itu yang saya tahu. Saat ini, beliau tak bisa bekerja dimanapun, dan tinggal di kampung halamannya sambil melanjutkan riset disertasi yang beliau lanjutkan sampai sekarang.

Tak sedikit orang Turki yang heran dengan pemecatan akhir-akhir ini, bahkan orang Turki yang mendukung partai penguasa sekalipun! Beberapa jurnalis yang terkenal dekat dengan partai penguasa, seperti Yusuf Kaplan dan Cem Kucuk, juga mempertanyakan nama-nama dosen yang masuk dalam daftar hitam tersebut, padahal dosen-dosen itu dikenal ‘bersih’, terlibat di aktivitas politik yang legal, dan punya reputasi penelitian yang baik!

Beberapa dosen-dosen yang mempunyai afiliasi Islamis namun kritis pada partai penguasa juga geram dengan keputusan ini. Dalam beberapa status mereka di Facebook, mereka sangat geram pada kenyataan bahwa dulu dosen-dosen yang notabene dengan partai penguasa sekarang banyak  yang dipecat dan dizalimi setelah ‘kudeta 28 Februari 1997’, lalu sekarang dosen-dosen tersebut malah menjadi orang yang menzalimi dan membiarkan rekan-rekan kerja mereka dipecat begitu saja. Dosen-dosen kritis ini juga mengritik rekan kerja mereka yang menikmati promosi akademik tatkala rekan-rekan kerja yang lain sedang dizalimi. Sebuah fenomena yang membuat nurani saya amat terusik.

Ini fakta yang amat menyedihkan bagi dunia akademik Turki. Saya tak bisa diam begitu saja, karena saya menghormati para akademisi Turki dari beragam lintas ideologi, dari yang Kanan hingga yang Kiri. Dosen yang ateis, dosen yang Islamis, sama-sama saya hormati. Pemikiran-pemikiran mereka para intelektual organik telah membawa Turki pada titik yang Turki tak pernah bisa capai sebelumnya, dan saya menjadikan pemikiran mereka tentang politik, demokrasi, dan Islam sebagai inspirasi saya kedepannya.

Saya punya harapan besar pada dunia akademik Turki. Saya tak berharap bahwa warna akademik Turki menjadi seragam, saya berharap bahwa Turki tetap punya warna akademik yang beragam dengan segala kekhasan pemikirannya yang menjadikan perkuliahan penuh dengan dialektika dan debat, bukan dengan dogma-dogma dan taklid buta tanpa kritik. Sungguh potensi negara Turki dan semua negara di dunia, ada pada mereka yang belajar, berpikir, dan bergerak. Potensi berkembangnya negara dan masyarakat ada pada intelektual organik, semua orang (tak mesti akademik) yang melakukan tiga fungsi itu dengan baik.

Saya menulis ini bukan karena saya membenci Turki, tidak. Saya mencintai Turki dengan segala keragaman dan perbedaannya, sama seperti saya mencintai Indonesia.

Tinggalkan komentar